Masuk SMA
Masuk sma, itu kejadian kalo udah lulus smp dan pingin melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Kalo masuk lubang, itu kejadian kalo waktu jalan gak liat-liat akhirnya jatoh ke dalem lubang.
Lucu nggak? Nggak ya?
Yang barusan cuma intermezzo.
Masuk sma, sebuah hal yang membanggakan dan menakutkan buat aku. Kenapa? Karena dari tahun ke tahun selalu ada pemberitaan terkait dengan MOS yang identik dengan perpeloncoan. Ada yang protes karena dipelonco seniorlah, ada yang sakit, bahkan meninggal. Bukan cuma senior, perpeloncoan ini kadang juga didukung oleh warga sekolah, termasuk guru, seolah-olah perpeloncoan itu sudah masuk budaya pendidikan di Indonesia. Miris, kan
Aku juga gak suka sama yang model begituan. Maksudku, buat apa sih perpeloncoan itu? Siapa yang diuntungkan? Biar mentalnya siap di SMA? Apakah mempersiapkan mental itu harus dilakukan dengan menggunakan atribut yang aneh-aneh, dibentak senior padahal gak ada salah, jalan jongkok, harus begitu? Apakah semua siswa dengan latar belakang yang berbeda-beda bisa menerima cara itu?
Itulah yang menghantui pikiranku. Belom lagi cerita dari kakak kelas waktu SMP yang bilang kalo MOS SMP itu gak ada apa-apanya daripada MOS SMA.
Untungnya, mulai tahun 2016 ini, Kemdikbud kita mulai memperhatikan kasus semacam ini. Menteri pendidikan saat itu, Pak Anies Baswedan membuat peraturan tentang orientasi peserta didik baru. Tidak diperbolehkan lagi kegiatan yang identik dengan perpeloncoan. Panitianya pun harus guru, walau prakteknya siswa dari organisasi ikut jadi panitia walaupun jumlahnya tidak sebanyak dulu dan nggak ada lagi senioritas, ya oke lah gakpapa. Namanya juga diganti jadi MPLS (Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah) yang akhirnya menghapuskan image masa orientasi yang penuh perpeloncoan menjadi penuh kegembiraan.
Ternyata, masalah gak sampai di situ. Masuk SMA, kita dihadapkan dengan situasi yang berbeda dengan SMP. Di SMP, situasinya masih santai, masih ada 'kasih sayang' diantara guru dan murid, diantara adek kelas dan kakak kelas. SMA? Beda, bos!
Di SMA, nggak ada ampun. Kalo guru udah ngasih tenggat waktu buat ngumpulin tugas tanggal 31 desember, ya harus dikumpulin tanggal segitu mau nggak mau. Senioritas dikit-dikit juga udah biasa. Perpeloncoan dihapus nggak begitu ngaruh sih, karena memang SMA mentalnya harus beda sama SMP. Untuk naik ke satu jenjang kehidupan yang lebih tinggi, memang kesiapan mentalnya harus beda dari jenjang sebelumnya. Makanya, dulu ada anggapan kalo masuk SMP atau SMA itu harus digojlok biar mentalnya siap. Okelah, tapi kebanyakan yang begini ini disalah gunakan sama senior-senior buat ngadain perpeloncoan, ngerjain habis-habisan adek kelasnya, baik yang baru maupun yang setingkat di bawahnya. Untungnya, anggepan itu udah hilang dengan adanya Permendikbud yang mengatur pelaksanaan MPLS, dan cuma Pak Anies yang berani menerapkan ini. *Ini bukan kampanye
Aku ini suka berorganisasi. Makanya aku coba-coba ikut seleksi salah satu organisasi di SMA. Hasilnya? Alhamdulillah diterima.
Terus? Udah gitu aja? Masalah belom selesai! Aku kira berorganisasi di mana aja di jenjang mana aja bakalan sama aja. Nyatanya? Itu salah 100%
Namanya anak organisasi, mentalnya harus beda sama anak biasa. Anak biasa mungkin cuma tau itu itu aja di sma, anak organisasi? Anak organisasi bakalan beda karena mereka punya pengalaman, pengalaman yang nggak didapetin anak biasa, terutama yang bagiannya terjun ke masyarakat, ya minimal masyarakat sekolahan lah.
Bagian ini nih yang bikin aku lumayan takut. Bukan lumayan, tapi BENER-BENER TAKUT. Buat memperkuat mental anak organisasi, biasanya secara dadakan ada evaluasi yang isinya itu bentak-bentakan, nggak jauh beda sama perpeloncoan. Ya semua ini tergantung seniornya sih, untung aja seniorku baik-baik disini, sekalinya ada evaluasi mereka menyampaikan dengan baik. Tapi, kalau seniornya kejam, ya siap-siap aja, pulang tinggal nama. *Mental tempe!
Waktu memo tulisan ini dibuat, gosipnya akan diadakan semacam pelatihan kepemimpinan gitu buat semua organisasi di SMA ku. Gosipnya lagi, katanya kegiatan-kegiatan begini juga ada, bahkan dominan dengan unsur bentak-bentakan, senioritas, bahkan mungkin perpeloncoan. Dan hal ini udah dianggap biasa sama sekolah, dalihnya sama, karena anak organisasi mentalnya harus beda. Tunggu, ini pelatihan, apa penjajahan??!!
Aku yang tadinya biasa aja, jadi takut setengah mati. Beneran deh. Nyaliku langsung ciut denger gosip begini. Entah gosipnya beneran apa enggak, yang jelas bikin nyali menciut.
Jujur aja, selain nyaliku menciut, akhirnya jadi sedikit males ikutan kegiatan semacam itu. Yang ada dipikiranku, buat apa sih kegiatan yang isinya bentak-bentakan gitu? Ngehabisin waktu, cuma nimbulin rasa dendam dan pengen bales dendam. Wait, istilah ini agak salah. Bales dendam itu kan kalau kita diperlakukan jahat sama seseorang dan kita ingin memperbuat hal serupa dengan seseorang tersebut. Kalo pingin melakukan sesuatu kejahatan ke generasi selanjutnya, itu PELAMPIASAN, bukan BALES DENDAM.
Terlepas unsur bales dendam itu yang udah dianggep biasa sama sekolah, aku waktu SMP juga pernah sih sedikit bales dendam ke generasi di bawahku, inget ya, SEDIKIT. Tapi itu dulu, waktu aku nggak punya prinsip dan ikut-ikutan doang bisanya.
Tapi akhirnya, aku menyadari satu hal. Memang, untuk menjadi berbeda dari yang lainnya, mental yang dimiliki harus beda. Bukan mental tempe, tapi mental yang kuat, sekuat baja. Ini resiko jadi anak organisasi, resiko dari pilihan hidup. Sesuatu yang sudah dipilih susah untuk diurungkan atau dibatalkan. Mau gimana lagi? Hidup akan terus berjalan. Waktu nggak bisa diputar ulang. Semua yang telah terjadi nggak bisa diulang (biasanya di reka adegan). Jangan pernah sesali takdirmu, syukuri, karena hidup adalah anugrah.
Lucu nggak? Nggak ya?
Yang barusan cuma intermezzo.
Masuk sma, sebuah hal yang membanggakan dan menakutkan buat aku. Kenapa? Karena dari tahun ke tahun selalu ada pemberitaan terkait dengan MOS yang identik dengan perpeloncoan. Ada yang protes karena dipelonco seniorlah, ada yang sakit, bahkan meninggal. Bukan cuma senior, perpeloncoan ini kadang juga didukung oleh warga sekolah, termasuk guru, seolah-olah perpeloncoan itu sudah masuk budaya pendidikan di Indonesia. Miris, kan
Aku juga gak suka sama yang model begituan. Maksudku, buat apa sih perpeloncoan itu? Siapa yang diuntungkan? Biar mentalnya siap di SMA? Apakah mempersiapkan mental itu harus dilakukan dengan menggunakan atribut yang aneh-aneh, dibentak senior padahal gak ada salah, jalan jongkok, harus begitu? Apakah semua siswa dengan latar belakang yang berbeda-beda bisa menerima cara itu?
Itulah yang menghantui pikiranku. Belom lagi cerita dari kakak kelas waktu SMP yang bilang kalo MOS SMP itu gak ada apa-apanya daripada MOS SMA.
Untungnya, mulai tahun 2016 ini, Kemdikbud kita mulai memperhatikan kasus semacam ini. Menteri pendidikan saat itu, Pak Anies Baswedan membuat peraturan tentang orientasi peserta didik baru. Tidak diperbolehkan lagi kegiatan yang identik dengan perpeloncoan. Panitianya pun harus guru, walau prakteknya siswa dari organisasi ikut jadi panitia walaupun jumlahnya tidak sebanyak dulu dan nggak ada lagi senioritas, ya oke lah gakpapa. Namanya juga diganti jadi MPLS (Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah) yang akhirnya menghapuskan image masa orientasi yang penuh perpeloncoan menjadi penuh kegembiraan.
Ternyata, masalah gak sampai di situ. Masuk SMA, kita dihadapkan dengan situasi yang berbeda dengan SMP. Di SMP, situasinya masih santai, masih ada 'kasih sayang' diantara guru dan murid, diantara adek kelas dan kakak kelas. SMA? Beda, bos!
Di SMA, nggak ada ampun. Kalo guru udah ngasih tenggat waktu buat ngumpulin tugas tanggal 31 desember, ya harus dikumpulin tanggal segitu mau nggak mau. Senioritas dikit-dikit juga udah biasa. Perpeloncoan dihapus nggak begitu ngaruh sih, karena memang SMA mentalnya harus beda sama SMP. Untuk naik ke satu jenjang kehidupan yang lebih tinggi, memang kesiapan mentalnya harus beda dari jenjang sebelumnya. Makanya, dulu ada anggapan kalo masuk SMP atau SMA itu harus digojlok biar mentalnya siap. Okelah, tapi kebanyakan yang begini ini disalah gunakan sama senior-senior buat ngadain perpeloncoan, ngerjain habis-habisan adek kelasnya, baik yang baru maupun yang setingkat di bawahnya. Untungnya, anggepan itu udah hilang dengan adanya Permendikbud yang mengatur pelaksanaan MPLS, dan cuma Pak Anies yang berani menerapkan ini. *Ini bukan kampanye
Aku ini suka berorganisasi. Makanya aku coba-coba ikut seleksi salah satu organisasi di SMA. Hasilnya? Alhamdulillah diterima.
Terus? Udah gitu aja? Masalah belom selesai! Aku kira berorganisasi di mana aja di jenjang mana aja bakalan sama aja. Nyatanya? Itu salah 100%
Namanya anak organisasi, mentalnya harus beda sama anak biasa. Anak biasa mungkin cuma tau itu itu aja di sma, anak organisasi? Anak organisasi bakalan beda karena mereka punya pengalaman, pengalaman yang nggak didapetin anak biasa, terutama yang bagiannya terjun ke masyarakat, ya minimal masyarakat sekolahan lah.
Bagian ini nih yang bikin aku lumayan takut. Bukan lumayan, tapi BENER-BENER TAKUT. Buat memperkuat mental anak organisasi, biasanya secara dadakan ada evaluasi yang isinya itu bentak-bentakan, nggak jauh beda sama perpeloncoan. Ya semua ini tergantung seniornya sih, untung aja seniorku baik-baik disini, sekalinya ada evaluasi mereka menyampaikan dengan baik. Tapi, kalau seniornya kejam, ya siap-siap aja, pulang tinggal nama. *Mental tempe!
Waktu memo tulisan ini dibuat, gosipnya akan diadakan semacam pelatihan kepemimpinan gitu buat semua organisasi di SMA ku. Gosipnya lagi, katanya kegiatan-kegiatan begini juga ada, bahkan dominan dengan unsur bentak-bentakan, senioritas, bahkan mungkin perpeloncoan. Dan hal ini udah dianggap biasa sama sekolah, dalihnya sama, karena anak organisasi mentalnya harus beda. Tunggu, ini pelatihan, apa penjajahan??!!
Aku yang tadinya biasa aja, jadi takut setengah mati. Beneran deh. Nyaliku langsung ciut denger gosip begini. Entah gosipnya beneran apa enggak, yang jelas bikin nyali menciut.
Jujur aja, selain nyaliku menciut, akhirnya jadi sedikit males ikutan kegiatan semacam itu. Yang ada dipikiranku, buat apa sih kegiatan yang isinya bentak-bentakan gitu? Ngehabisin waktu, cuma nimbulin rasa dendam dan pengen bales dendam. Wait, istilah ini agak salah. Bales dendam itu kan kalau kita diperlakukan jahat sama seseorang dan kita ingin memperbuat hal serupa dengan seseorang tersebut. Kalo pingin melakukan sesuatu kejahatan ke generasi selanjutnya, itu PELAMPIASAN, bukan BALES DENDAM.
Terlepas unsur bales dendam itu yang udah dianggep biasa sama sekolah, aku waktu SMP juga pernah sih sedikit bales dendam ke generasi di bawahku, inget ya, SEDIKIT. Tapi itu dulu, waktu aku nggak punya prinsip dan ikut-ikutan doang bisanya.
Tapi akhirnya, aku menyadari satu hal. Memang, untuk menjadi berbeda dari yang lainnya, mental yang dimiliki harus beda. Bukan mental tempe, tapi mental yang kuat, sekuat baja. Ini resiko jadi anak organisasi, resiko dari pilihan hidup. Sesuatu yang sudah dipilih susah untuk diurungkan atau dibatalkan. Mau gimana lagi? Hidup akan terus berjalan. Waktu nggak bisa diputar ulang. Semua yang telah terjadi nggak bisa diulang (biasanya di reka adegan). Jangan pernah sesali takdirmu, syukuri, karena hidup adalah anugrah.
(mungkin) bersambung...
Komentar
Posting Komentar